Bamsoet Sebut Politik Uang Masih Jadi Masalah Besar Pemilu di RI

6 months ago 26
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan politik uang masih menjadi masalah besar dalam Pemilu di Indonesia. Menurutnya, Pemilu yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia dan menjadi simbol demokrasi, mulai dipertanyakan.

Dia mengatakan banyak yang mulai meragukan apakah Pemilu cukup efektif untuk mengubah sistem politik yang ada, ataukah Indonesia justru membutuhkan revolusi politik untuk mencapai perubahan yang lebih mendalam.

"Pemilu seringkali dijadikan ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke uang atau kekuasaan," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini dia ungkapkan saat memberikan kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Kamis (12/6).

Dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) ini menekankan pentingnya mendorong partisipasi politik yang lebih inklusif. Menurutnya, kelompok yang selama ini kurang terwakili seperti perempuan, pemuda, disabilitas, dan masyarakat miskin harus diberi ruang lebih besar dalam proses politik.

"Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk membuka ruang politik seluas-luasnya bagi semua warga negara. Pemuda, perempuan, dan kelompok rentan bukan sekadar objek dalam demokrasi elektoral, tetapi subjek yang berhak menentukan arah bangsa. Dengan memperkuat partisipasi mereka, Indonesia bukan hanya membangun demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan zaman," tegas Bamsoet.

Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya ini juga menguraikan tantangan utama yang menghambat partisipasi inklusif adalah dominasi politik transaksional atau money politics.

Fenomena ini telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Menurut data Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024, sebanyak 35% responden mengaku menentukan pilihannya karena adanya imbalan uang. Angka ini menandakan pengaruh signifikan politik uang dalam keputusan memilih.

Lebih memprihatinkan lagi, sebagian masyarakat memaklumi praktik ini sebagai bagian dari 'budaya politik'. Dalam sistem seperti ini, kelompok dengan sumber daya finansial terbatas, yang sering kali adalah perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, akan selalu berada dalam posisi subordinat. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem menuntut biaya tinggi untuk 'masuk' ke arena kekuasaan.

"Persoalan ini harus segera diurai. Di satu sisi, negara ingin membangun demokrasi yang partisipatif dan inklusif, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan tanpa sadar melestarikan struktur politik yang menyulitkan kelompok marginal untuk berpartisipasi secara setara. Solusi dari permasalahan ini tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi membutuhkan ekosistem politik yang sehat, komitmen elite, serta penguatan kapasitas masyarakat sipil," kata Bamsoet.

Ia menilai peran legislatif dan pemerintah sangat krusial dalam menghadirkan demokrasi yang adil dan partisipatif. Menurutnya, kedua lembaga tak cukup hanya berperan sebagai pembuat regulasi, tetapi juga wajib menjadi jembatan bagi keterlibatan publik yang lebih bermakna.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya mekanisme partisipasi yang benar-benar memberi tempat bagi kelompok-kelompok yang selama ini kerap terpinggirkan. Forum aspirasi yang melibatkan komunitas disabilitas, organisasi pemuda, kelompok perempuan pedesaan, hingga komunitas adat dinilai bisa menjadi ruang strategis, asalkan tidak sekadar formalitas, melainkan benar-benar masuk ke proses legislasi dan pengawasan kebijakan.

Menurutnya, pendidikan politik juga harus diperkuat dengan pendekatan yang relevan. Banyak anak muda dan kelompok rentan belum paham secara menyeluruh tentang sistem politik akibat terbatasnya literasi politik. Ia menyarankan pendekatan kreatif seperti lokakarya, diskusi komunitas, kampanye digital, atau simulasi parlemen yang melibatkan anak muda.

"Negara dan partai politik juga perlu lebih serius dalam menumbuhkan kepemimpinan baru dari kelompok marginal. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan kepemimpinan politik yang inklusif, membuka jalur karier politik yang tidak mahal, serta menciptakan sistem mentoring yang mendorong pemuda dan perempuan belajar langsung dari legislator senior," tuturnya.

Ia menambahkan inklusi politik itu bukan hanya soal keadilan representasi, tapi juga kualitas keputusan yang dihasilkan. Semakin banyak perspektif yang hadir, semakin kuat pula demokr...

Read Entire Article