Benarkah MK Larang Wakil Menteri Rangkap Jadi Komisaris?

4 months ago 15
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan yang meminta agar wakil menteri (wamen) dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris ataupun direksi di perusahaan. Meski tidak menerima, benarkah MK melarang wamen rangkap jabatan?

Sebagai informasi, perkara nomor Nomor 21/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon. Putusan perkara itu dibacakan dalam persidangan yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).

Dalam permohonannya, Juhaidy meminta Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang saat ini berbunyi:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah'

agar diubah menjadi:

Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Juhaidy, dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, menyebut MK dalam putusan nomor 80/PUU-XVII/2019 mengutip pertimbangan hukum dalam putusan sebelumnya dan konsisten mengenai konstitusionalitas jabatan wakil menteri. Pemohon menganggap MK, dalam putusan tahun 2019 itu, memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri.

"MK melalui Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 mengutip kembali pertimbangan hukum dalam putusan sebelumnya dan tetap konsisten pada pendiriannya mengenai konstitusionalitas jabatan wakil menteri. Hal ini merupakan pertimbangan hukum MK terhadap dalil-dalil permohonan yang pada pokoknya menginginkan agar keberadaan wakil menteri dinyatakan inkonstitusional. Sementara itu, berkenaan dengan isu konstitusionalitas terkait rangkap jabatan, MK memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri. Berdasarkan Pasal 23 UU 39/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dengan adanya penegasan Putusan MK sebagaimana dikemukakan di atas, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008," demikian dikutip dari 'Kedudukan Hukum' yang tertera dalam dokumen permohonan pemohon dan diuraikan lagi oleh MK untuk mengawali dokumen putusannya.

Lalu, bagaimana pertimbangan MK?

MK telah memberi pertimbangan terhadap kedudukan hukum pemohon. Dalam pertimbangannya, MK mengutip kembali poin-poin dalam uraian kedudukan hukum yang diajukan oleh pemohon.

"Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon yang pada pokoknya, sebagai berikut," ujar MK di awal poin 3.5 bagian pertimbangan kedudukan hukum pemohon.

MK lalu menguraikan pokok dari salah satu poin kedudukan hukum yang diajukan pemohon. MK mengulangi lagi apa yang disampaikan pemohon sebelum memberi pertimbangannya untuk gugatan ini.

"Bahwa menurut Pemohon, berkenaan dengan isu konstitusionalitas rangkap jabatan, Mahkamah Konstitusi memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri. Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008. Namun pada pelaksanaannya, masih terdapat wakil Menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sudah jelas menyampaikan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan negara maupun swasta. Pengabaian terhadap putusan tersebut salah satunya didasarkan pada alasan bahwa amar putusan dari perkara tersebut "tidak dapat diterima" dan tidak menyatakan ketentuan terkait larangan rangkap jabatan tersebut inskonstitusional. Meskipun dalam amar putusan a quo permohonannya tidak dapat diterima, tetapi dal...

Read Entire Article