Jakarta -
Kasubdit Renakta Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), AKBP Ni Made Pujewati, memakai pendekatan komprehensif dalam membongkar kasus pelecehan seksual pria disabilitas, I Wayan Agus Suartama (IWAS), terhadap sejumlah wanita yang menjadi korban. Hal itu menjadi terobosan dan peningkatan pelayanan Polda NTB.
"Polri sebagai organisasi yang memang mengedepankan sikap adaptif dan reaktif. Artinya, dalam rangka profesionalisme khususnya penegakan hukum, kami di Subdit IV merasakan adanya kendala dan tantangan kala menangani kasus kelompok rentan. Itulah yang kemudian, kami menginisiasi untuk meningkatkan pelayanan bagi kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas," kata AKBP Puje dalam wawancara kandidat Hoegeng Awards 2025.
AKBP Puje tak menyangka kasus IWAS atau Agus Buntung menjadi perhatian publik. Menurut dia, kasus IWAS merupakan perkara kekerasan seksual yang jarang ditemukan, tapi mudah untuk pembuktian kasusnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita jarang menemukan kasus kekerasan seksual yang ada saksi di tempat kejadian perkara. Ini 2 jam setelah peristiwa, korban itu berani untuk melaporkan. Karena ketika peristiwa yang dialami yang kami tangkap dari fakta peristiwa, korban langsung berpikir bagaimana pada saat bersama dengan pelaku, korban konsennya adalah menyelamatkan diri dulu," ucap AKBP Puje.
"Tetapi dalam proses penyelamatan diri korban berpikir untuk mendapatkan saksi. Nah itulah ketika kita ungkap dan ada saksi kemudian serta petunjuk-petunjuk lainnya, sehingga proses pembuktian kasus ini relatif cepat," tambahnya.
Dia menyebut dalam penanganan kasus disabilitas berhadapan dengan hukum, Polri sebagai pembelajar yang aktif dan adaptif melihat suatu tantangan dalam penanganan disabilitas. Karena itu, AKBP Puje menilai pihaknya belum memiliki sarana, sumber daya manusia (SDM) yang belum memiliki pemahaman, serta belum mampu untuk menghadirkan ahli-ahli yang berkompeten dalam penilaian personal.
"Intinya dari penanganan disabilitas, di awal kasus kita harus melakukan penilaian personal. Melalui perubahan yang kita lakukan, kita mendapatkan suatu hasil yaitu adanya Keputusan Kapolda NTB yang mengatur tentang pedoman pelayanan untuk memberikan pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Di sana diatur tentang ketentuan-ketentuan bagaimana kita menangani penyandang disabilitas," jelasnya.
Berlandaskan Keputusan Kapolda NTB, AKBP Puje melakukan perubahan nota kesepahaman (MoU) dengan Gubernur NTB dan Komisi Disabilitas daerah. Dari hasil itu, dalam penanganan kasus Agus Buntung pun dibantu oleh pemerintah daerah.
"Di sanalah pada saat penanganan kasus Agus kita dibantu oleh pemerintah daerah untuk menghadirkan ahli yang melakukan penilaian terhadap kondisi Agus, apakah dia bisa melakukan suatu tindakan a, b dan c. Lalu, bagaimana kemudian apakah penahanan yang akan kita lakukan karena kita tetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," ujarnya.
AKBP Puje menilai Agus Buntung perlu ditahan usai ditetapkan tersangka karena korbannya banyak dan Agus melakukan pelecehan di tempat umum. AKBP Puje pun meminta pendapat dari sejumlah pihak terkait kemungkinan penahanan Agus di Rutan Polda NTB.
"Melalui ahli, melalui Komisi Disabilitas daerah, melalui psikolog kita mintakan pendapatnya, apakah Agus bisa dilakukan penahanan di rumah tahanan negara yang ada di kantor kepolisian. Itulah pendapat-pendapat yang kemudian kita pedomani, sehingga pada saat itu kita tidak lakukan penahanan di Rutan Polda NTB, tapi kita lakukan penahanan rumah kepada yang bersangkutan," katanya.
Selain fokus pada penegakan hukum, AKBP Puje juga aktif menggerakkan pihak-pihak terkait sebagai upaya pencegahan agar kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan kelompok rentan terus berulang. Dia menyebut pihaknya aktif mengkampanyekan gerakan 'Rise and Speak'.
"Dalam kampanye itu, kita gelorakan bahwa kita harus bersinergi, baik itu pemerintah daerah, organisasi independen (NGO), tokoh masyarakat yang berada di lembaga pendidikan untuk mau bersama-sama memberikan penyadaran untuk melindungi," ucap AKBP Puje.
"Yang terpenting adalah dapat diberikan penyadaran, bahwa kalau memang mengalami suatu peristiwa pidana korban dapat bersuara, untuk memberikan pernyataan, untuk berani berbicara. Sehingga peristiwa itu kita ketahui, khususnya bagi aparat penegak hukum langkah selanjutnya adalah ketika korban mau berbicara kita melakukan perlindungan dan penanganan hukum," imbuhnya.
Sementara itu, Kapolda NTB Irjen Hadi Gunawan mengapresiasi kerja-kerja AKBP Puje dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, serta kelompok rentan di NTB. Dia menyebut keputusan soal tata kelola kasus disabilitas menjadi hal yang baru di Polda NTB.
"AKBP Pujewati punya inovasi...

4 months ago
19
























