Penegakan UU TPKS Dinilai Lemah, Waka MPR Dorong Pembenahan

5 months ago 44
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menilai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual masih belum optimal meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan. Ia menekankan bahwa pembenahan di berbagai sektor harus segera dilakukan agar implementasi UU ini benar-benar efektif.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi daring bertema Tantangan Penegakan Hukum UU TPKS yang digelar Forum Diskusi Denpasar. Menurutnya, respons terhadap perubuhan sistem dan budaya hukum masih lambat.

"Meski UU TPKS telah disahkan, respons terhadap perubahan sistem dan budaya hukum itu masih berjalan lambat, sehingga upaya negara memberi perlindungan korban secara menyeluruh belum sepenuhnya terwujud," kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (11/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan bahwa salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap substansi UU TPKS, termasuk pentingnya pendekatan yang berpihak kepada korban.

Ia menegaskan bahwa pelaksanaan UU ini membutuhkan komitmen kuat dari semua elemen, baik pemerintah, swasta, masyarakat maupun individu. Selain itu, juga diperlukan peningkatan kapasitas elemen, terutama aparat penegak hukum, agar proses penanganan tindak kekerasan seksual mengutamakan perspektif korban, mengedepankan HAM, dan martabat manusia.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono menilai apparat penegak hukum kerap tak melihat UU TPKS sebagai instrument tindak pidana khusus sehingga mereka seringkali menerapkan pidana umum untuk kasus kekerasan seksual. Ia juga menyoroti masih kuatnya budaya victim blaming di masyarakat yang menjadi hambatan tersendiri dalam penerapan UU TPKS.

Oleh sebab itu, ia merumuskan bahwa tantangan implementasi UU TPKS mencakup tiga aspek: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Menurutnya, undang-undang yang sudah sangat rinci tak akan efektif bila struktur hukumnya belum siap. Implikasinya, hak-hak korban tidak terakomodasi, seperti tidak ada restitusi dan perlindungan yang lemah dalam proses hukum.

Hal senada disampaikan Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Rejeki Marpaung. Ia mencatat, meski laporan kekerasan seksual masih tinggi, sangat sedikit yang berlanjut hingga proses hukum.

Tuani mengungkapkan bahwa pada 2022, LBH Apik Jakarta menerima 570 laporan tindak kekerasan seksual. Pada 2023, tercatat 497 kasus, dan pada 2024 tercatat 303 kasus.

Namun, pada 2023, hanya 30 yang didampingi LBH APIK, dan dari jumlah itu hanya 5 yang berhasil masuk pengadilan. Sisanya terhambat di proses kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Ia menyebut aparat masih sering menggunakan UU ITE dan UU Pornografi alih-alih UU TPKS untuk kasus kekerasan seksual. Selain itu, kondisi pelaporan juga tidak ideal, mulai dari ruang pemeriksaan yang tidak ramah korban hingga ketiadaan ruang khusus untuk pendampingan.

Kuasa hukum korban kekerasan seksual di Universitas Pancasila, Amanda Manthovani, turut menyoroti buruknya penanganan kasus di institusi pendidikan. Ia mengatakan kehadiran Satgas TPKS di kampus pun tak bisa membantu mewujudkan keadilan karena adanya relasi kuasa yang membuat korban sulit mendapatkan keadilan. Ia meminta pemerintah segera menerbitkan aturan turunan dari UU TPKS agar proses hukum benar-benar berpihak pada korban dan menjunjung HAM.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo menegaskan bahwa secara teknis, UU TPKS sudah sangat lengkap, termasuk dalam mengatur hukum acara. Namun, pelaksanaan UU TPKS di lapangan belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum.

Rudi menegaskan, UU TPKS memiliki semangat progresif, sehingga aparat penegak hukum juga harus berpikir maju dan mengedepankan kepastian hukum. Ia menyebut, visum dan keterangan korban adalah bukti yang cukup untuk memproses kasus ke pengadilan. Ia pun mendorong kepolisian serta kejaksaan segera memedomani aturan-aturan pada UU TPKS.

Wartawan senior Usman Kansong mengutip Mahatma Gandhi dalam pandangannya, bahwa keadilan yang sempurna memang sulit, namun upaya untuk mencapainya tetap harus dilakukan.

"Jangan lelah mengawal penegakan hukum UU TPKS dan dalam mengawal itu marilah kita berkutat pada solusi tidak hanya berkutat pada problem," tambah Usman.

Simak juga Video 'Kemenkes Susun MoU soal Pembenahan Sistem PPDS, Ini Poin-poinnya':

(akn/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif ka...

Read Entire Article