Respons Putusan MK, HNW Saran Ada Rambu-rambu Syarat Pendidikan Capres

4 months ago 15
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu yang intinya meminta agar calon Presiden dan Wakil Presiden berpendidikan paling rendah sarjana atau S-1. HNW tetap berharap ada rambu-rambu terkait syarat pendidikan calon pemimpin RI.

"Ya memang kalau merujuk ke dalam Undang-Undang Dasar, memang tidak ada syarat ijazah dalam strata terendah maupun tertinggi. Jadi kalau kemudian ada yang mensyaratkan minimal tertentu, itu MK wajar untuk menolak karena memang Undang-Undang Dasar tidak membatasi," kata HNW di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7/2025).

HNW mengatakan, jika MK menolak syarat minimal sarjana, itu tak juga membuat kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang bisa ditafsirkan seseorang tak memiliki ijazah atau ijazah palsu masuk kriteria. HNW menilai mesti ada penegasan tentang kualifikasi minimal dari pendidikan capres dan cawapres.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi tentu saja, MK juga mempertimbangkan ijazah itu bagian dari pembuktian kapasitas dan kualifikasi calon. Jadi kalau misalnya kemudian ditolak, minimal strata S-1 ditolak, itu penting juga untuk MK tidak membuka open legal policy sehingga nggak ijazah juga boleh gitu atau ijazahnya palsu juga boleh," ujar NHW.

"Penting juga tetap harus ada penegasan tentang kualifikasi minimal, yang ukurannya ya common sense. Untuk guru SD saja, ada syarat ijazah. Untuk masuk di pekerjaan mana pun, ditanyakan syarat ijazah," tambahnya.

Legislator PKS ini menyatakan MK memang tak memiliki kewenangan membuat undang-undang. Tetapi, menurutnya, DPR RI dalam menyusun undang-undang nantinya memerlukan rambu-rambu yang ditetapkan oleh konstitusi.

"Nah syarat ijazah minimal seperti apa, itu yang penting juga. Sekalipun MK bukan pembuat undang-undang, tapi penting juga untuk memberi rambu sehingga DPR ketika membuat undang-undang, nanti jangan sampai kemudian dianggap bertentangan dengan konstitusi lagi karena ada pembatasan," katanya.

HNW mengatakan penting ada aturan minimal dalam menentukan standar pendidikan seorang capres dan cawapres. Kendati demikian, ia mengingatkan secara konstitusi tak ada pembatasan minimal pendidikan seorang capres-cawapres.

"Jadi menurut saya sebaiknya MK juga sekalipun bukan merupakan imperatif, tapi rambu-rambu tentang syarat minimal pendidikan dari seorang capres cawapres seperti apa. Tapi sekali lagi kalau ukuran konstitusi memang tidak ada pembatasan minimal ijazahnya strata apa," katanya.

Ia menyebut posisi DPR sebagai pembentuk undang-undang harus lebih bijaksana. HNW menyoroti syarat ASN hingga mayoritas pekerja di RI yang bergelar sarjana.

"Kemudian MK menolak syarat strata minimal S1. Tapi mestinya karenanya diperlukan syarat minimal mana yang kemudian bisa diterima, tapi tentu juga seperti yang rekan-rekan sampaikan bahkan untuk ASN, untuk pekerjaan-pekerjaan yang lain umumnya memang syaratnya sudah minimal S1," ujar HNW.

"Jadi kalau menurut saya DPR perlu bersikap lebih arif lagi, termasuk nanti juga menentukan tentang threshold kan. Threshold apakah memang 0% untuk calon presiden, sedangkan untuk di DPR saja ada syarat minimal," imbuhnya.

Putusan MK

Putusan MK dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (17/7). Permohonan dengan nomor 87/PUU-XXIII/2025 itu diajukan Hanter Oriko Siregar, Daniel Fajar Bahari Sianipar, dan Horison Sibarani.

Berikut ini petitum gugatan tersebut:

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: Pasal 169 huruf r 'berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat'

3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

MK lantas menolak gugatan tersebut. MK menyatakan permohonan itu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo.

Suhartoyo juga menyatakan dirinya memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap perkara ini. Dia mengatakan seharusnya MK tidak menerima perkara tersebut karena menurutnya pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

(dwr/gbr)

Loading...

...
Read Entire Article